Sumber: Dokumentasi Pribadi Rinrin Indrianie
Pagi-pagi buta Mbah Kung sudah berangkat ke sawah, mencari jerami sisa panen. Terkadang jika di desa kami belum musim panen, Mbah Kung rela mengayuh sepeda tuanya sampai ke desa-desa tetangga.
Iya, Mbah Kung memang sangat giat bekerja, dia melakukan semuanya. Tak hanya mencari jerami, tapi juga memasak, mencuci dan mengurusiku, cucu sekaligus keluarga satu-satunya setelah ayah dan ibuku meninggal karena kecelakaan. Sedangkan Mbah Putri sering sakit-sakitan selama beberapa tahun dan akhirnya pergi menyusul anaknya, begitu cerita Mbah Kung.
Pernah suatu hari di terik yang panas membakar kulit, Mbah Kung berangkat ke sawah. Semua di terjangnya demi seikat jerami.
Lain hari lagi Mbah Kung juga mengabaikan mendung gelap yang siap menumpahkan isinya ke bumi.
“Le, Mbah ambil jerami dulu ya, mumpung ada yang nawarin,” gurat semangat terpancar di wajahnya.
“Ikut Kung,” rengekku.
“Jangan Le, langitnya mendung, nanti kalo hujan gimana?”
“Ikut ikut ikut Kung.” Aku hampir menangis.
Mbah Kung berfikir sejenak, mungkin sedikit bimbang. “Yowes, ayo ikut Le.”
Aku masih ingat betul saat itu, disepanjang jalan aku bernyanyi dengan gembira lalu rintik-rintik air hujan mulai membasahi bajuku.
“Gerimis Kung, horeee.” Aku kegirangan seperti mendapat mainan baru.
Mbah Kung menepikan sepedanya, menyuruhku turun lalu duduk di kursi kayu yang berada di samping kios tembikar di pinggir jalan. “Berteduh disini dulu ya Le, Mbah mau ambil jerami di dekat pertigaan sana sebentar, nanti Mbah Kung ke sini lagi.” Aku mengangguk, menyetujuinya tanpa syarat atau merengek seperti biasanya.
Tak berapa lama kulihat Mbah Kung sudah kembali, berada di seberang jalan, aku meloncat dan bersorak, Mbah Kung hanya tersenyum menyaksikan tingkahku.
“Sini Kung, sini.” Teriakku.
Mbah Kung buru-buru menyebrang tanpa menyadari ada mobil besar yang melintas dengan kecepatan tinggi.
“Ciiitttt… Braaakk.” Mbah Kung terpelanting, sepeda dengan tumpukan jerami di belakangnyapun ikut terpental. Mbah Kung tidak bergerak lagi, untuk selamanya.
“Ah, Kung, aku rindu dibonceng sepeda Mbah Kung, apa Mbah Kung tidak bisa menemani aku wisuda nanti?” Ku usap pelan sepeda tua peninggalan Mbah Kung.
Keterangan :
Mbah Kung : kakek
Mbah Putri : Nenek
Le : Panggilan nak untuk anak laki-laki
Yowes : Ya sudah
Tulisan ini ditulis untuk Monday Flash Fiction Prompt #65: Lelaki Tua di Tengah Gerimis
Anda harus log masuk untuk menerbitkan komentar.